SEJARAH
HADITS PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW, MASA SAHABAT, MASA TABI’IN, MASA ABAD 2,3,4
H. DAN PADA MASA ABAD KE 5 SAMPAI SEWKARANG
A.
SEJARAH
HADITS PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan
saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang
kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu
disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi'in (satu generasi dibawah sahabat) . Berita itu
kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu
para tabi'ut tabi'in dan
seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).
Pada masa Sang Nabi masih hidup,
Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat. Para
sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih
mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Di antara sahabat tidak semua
bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja
bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu
sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian di
antara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi
Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat
Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.
Dengan demikian pelaksanaan Al
Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan
pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al
Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup
ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba'ah Ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan
kebenaran Al Hadist.
Meski pada masa itu Al Hadist
berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk
kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di antaranya
ialah :
1. 'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As
Shadiqah)
2. 'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai
huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).
B.
SEJARAH
HADITS PADA MASA SAHABAT
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena
sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi
sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik
mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan di antara mereka masih sering bertemu
untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah
Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul
masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak
jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat
tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan
untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat
makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil mulai
mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat
besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para
sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak
segan-segan para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al
Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai
banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu
para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.
C.
SEJARAH HADITS PADA MASA TABI’IN
Musibah besar menimpa umat Islam pada
masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan di antara sebagian
umat Islam yang meminta
korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula
hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu'(palsu) yang jumlah dan macamnya tidak
tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan /
perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin
memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit
yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan
tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan
menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih
hidup dan terutama para tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil
sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya
tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini
sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa
yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar
siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan
permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber /
pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih
kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu
Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada
murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.
Umar bin
Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang
memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah
diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal
memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan
tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal
yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari
agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
D. SEJARAH
HADITS PADA MASA ABAD 2,3 DAN 4
Hadits-hadits Nabi yang telah
dibukukan oleh ulama hadits pada periode keempat(abad ke 2 H) baru terbatas
pada hadits-hadits Nabi yang ada di kota-kota tertentu saja. Padahal dengan
telah menyebarnya para perawi hadits ke tempat-tempat yang jauh, karena daulah
Islamiyah telah semakin meluas daerahnya, maka masih sangat banyak
hadits-hadits Nabi yang belum dibukukan. Oleh karenanya, jalan yang harus
ditempuh untuk menghimpun hadits-hadits yang berada pada perawi yang terbesar
itu, adalah dengan cara melawat untuk mengunjungi para perawi hadits. Usaha
perlawatan untuk mencari Hadits Nabi ini, telah dipelopori oleh Imam
Al-Bukhari. Imam Al-Bukhari selama 16 tahun telah melawat ke daerah-daerah.
M.Shuhudi Ismail(1987:114). Menurut T.M.Ash-Shiddieqy (2005:50). Perlawatan ke
daerah-daerah para perawi hadits yang jauh dari pusat kota. Sedangkan menurut
M.Agus Solahudin (2011:42) , 6 tahun lamanya Imam Al-Bukhari terus menjelajah
untuk menyiapkan kitab Shahihnya.
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah
pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada
masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al
Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu', mauquf dan maqtu'. Al
Hadits marfu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi
perilaku sahabat dan Al Hadits
maqthu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut di antaranya dilakukan
oleh :
§ Ahmad bin Hambal
§ 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
§ Musaddad Al Bashri
§ Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
§ 'Utsman bin Abi Syu'bah
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya.Yang
perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al
Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits,
yaitu :
§ Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An
Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al
Hadit shahih dan Al Hadits dla'if yang tidak munkar.
§ Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al
Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam Al Hadits tanpa
penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al
Hadits untuk bahan perbandingan.
Beberapa langkah – langkah untuk melestarikan
hadits pada abad ke 3 H ini adalah sebagai berikut :
1.Perlawatan ke Daerah –
daerah para perowi hadis yang jauh dari pusat kota
2.Pengklasifikasian hadits Marfu’, hadits mauquf dan maudlu’ (palsu).
3. Ahadits Nabi, atsar sahabat dan aqwal (ucapan) tâbi ’în dikategorikan, dipisahkan dan dibedakan.
4. Riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara terpisah dan buku – buku pada abad ke–2Hdiperiksa kembali dan di tashih (diautentikasi).
5. Selama periode ini, bukan hanya riwayat yang dikumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadîts, para ulamâ`menformulasikan ilmu yang berkaitan dengan hadîts (lebih dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah ditulis
6. Penyeleksian dan pemilahan hadits kepada shahih, hasan dan Dhaif.
2.Pengklasifikasian hadits Marfu’, hadits mauquf dan maudlu’ (palsu).
3. Ahadits Nabi, atsar sahabat dan aqwal (ucapan) tâbi ’în dikategorikan, dipisahkan dan dibedakan.
4. Riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara terpisah dan buku – buku pada abad ke–2Hdiperiksa kembali dan di tashih (diautentikasi).
5. Selama periode ini, bukan hanya riwayat yang dikumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadîts, para ulamâ`menformulasikan ilmu yang berkaitan dengan hadîts (lebih dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah ditulis
6. Penyeleksian dan pemilahan hadits kepada shahih, hasan dan Dhaif.
Selanjutnya pada abad 4 H, usaha
pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini
telah selesai melakukan pembukuan Hadits.
1. Al
Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2. Al
Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3. Al
Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M), Dan lainya.
E. SEJARAH
PADA ABAD KE V H SAMPAI SEKARANG
Sedangkan abad 5 H dan seterusnya
adalah masa memperbaiki susunan kitab Hadits seperti menghimpun yang terserakan
atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya
kitab-kitab Hadits abad 4 H.ada abad ke V H adalah masa pengelompokkan dalam
bidang-bidang agar mempermudah para pembaca hadits.Perkembangan dan penulisan
hadits sampai pada abad 12 H. mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat
dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama’ dalam bidang hadits,
kecuali hanya membaca dan memahami hadits.
0 comments:
Post a Comment