Jika benar bahwa teori hanyalah gambaran dari
fenomena-fenomena dunia luar dalam kesadaran manusia, maka harus ditambahkan
-berkaitan dengan sistem Eduard Bernstein- bahwa teori terkadang merupakan
gambaran-gambaran yang diputar-balikkan. Pikirkanlah tentang sebuah teori yang
berusaha mewujudkan sosialisme dengan cara reformasi sosial di tengah
kemandegan total gerakan reformasi di Jerman. Pikirkanlah sebuah teori tentang
kontrol serikat buruh terhadap produksi di tengah kenyataan kekalahan buruh
logam di Inggris. Bahaslah teori untuk memenangkan mayoritas di Parlemen,
setelah revisi konstitusi Saxony, dan dalam pandangan upaya-upaya terbaru yang
menentang hak universal untuk memilih. Bagaimanapun juga, poin sangat penting
dari sistem Bernstein bukan terletak pada konsepsinya tentang tugas-tugas
praktis sosial-demokrasi. Poin itu terletak pada sikap Bernstein tentang kurun
perkembangan obyektif masyarakat kapitalis, yang pada gilirannya terkait erat
dengan konsepsinya tentang tugas-tugas praktis sosial-demokrasi.
Menurut Bernstein, kemunduran umum
kapitalisme nampaknya menjadi kian mustahil karena, di satu sisi, kapitalisme
menunjukkan suatu kapasitas adaptasi yang makin tinggi dan, di sisi lain,
produksi kapitalis menjadi makin dan makin bervariasi.
Kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi itu,
kata Bernstein, termanifestasi pertama-tama dalam sirnanya krisis-krisis umum
yang disebabkan oleh berkembangnya sistem kredit, organisasi-organisasi
majikan, sarana komunikasi yang lebih luas, dan jasa informasi. Kedua,
kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi terbukti dalam keuletan kelas menengah
yang berasal dari diferensiasi yang meningkat dalam cabang-cabang produksi, dan
naiknya lapisan luas proletariat ke level kelas menengah. Dan hal ini lebih
lanjut dibuktikan, menurut argumen Bernstein, dengan adanya perbaikan situasi
ekonomi dan politik sebagai hasil dari aktivitas serikat buruh proletariat.
Dari sikap teoritis ini, kemudian ditarik
kesimpulan umum tentang kerja praktis sosial-demokrasi seperti berikut. Gerakan
Sosial-demokrasi hendaknya jangan mengarahkan aktivitasnya sehari-hari pada
penaklukan kekuasaan politik, melainkan menuju perbaikan kondisi kelas pekerja
di dalam tatanan yang kini ada. Gerakan Sosial-demokrasi jangan berharap untuk
membangun sosialisme sebagai hasil dari krisis sosial dan politik, tetapi
hendaknya membangun sosialisme melalui perluasan kontrol sosial secara
progresif dan penerapan prinsip kerjasama secara bertahap.
Bernstein sendiri tidak melihat adanya hal
baru dalam teori-teorinya. Sebaliknya, dia yakin bahwa teori-teorinya itu
sesuai dengan pernyataan-pernyataan tertentu dari Marx dan Engels. Namun
demikian, sulit bagi kita untuk menyangkal bahwa teori-teori Bernstein itu
bertentangan secara formal dengan konsepsi-konsepsi sosialisme ilmiah.
Jika revisionisme Bernstein sekedar hendak
menegaskan bahwa perjalanan perkembangan kapitalis lebih lambat daripada yang
diperkirakan sebelumnya, maka ia hanya akan menyajikan sebuah argumen untuk
menangguhkan penaklukan kekuasaan oleh proletariat, hal mana setiap orang
sampai saat ini telah sepakat. Konsekuensinya hanyalah perlambatan langkah
perjuangan.
Namun, bukan itu yang terjadi. Yang
dipersoalkan Bernstein bukanlah tingkat kecepatan perkembangan masyarakat
kapitalis, melainkan perjalanan perkembangan itu sendiri, yang konsekuensinya
berarti kemungkinan hakiki untuk sebuah perubahan menuju sosialisme.
Teori sosialis sampai saat ini menyatakan
bahwa titik berangkat bagi suatu transformasi menuju sosialisme akan berupa
sebuah krisis umum dan katastropis (merupakan bencana besar). Dalam pandangan
ini, kita harus membedakan dua hal: ide fundamental dan bentuk luarnya.
Ide fundamentalnya mengandung penegasan bahwa
kapitalisme, sebagai akibat dari kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya,
bergerak ke arah satu titik ketika ia tidak akan seimbang, ketika kapitalisme
akan menjadi sungguh-sungguh tak mungkin. Ada alasan-alasan tepat untuk
memahami titik waktu dalam bentuk sebuah krisis komersial umum yang
katastropis. Akan tetapi, itu bersifat sekunder ketika ide fundamentalnya
dibahas.
Basis sosialisme ilmiah bertumpu pada
-sebagaimana yang lazim dikenal- tiga hasil utama dari perkembangan kapitalis.
Pertama, pada tumbuhnya anarki dalam ekonomi kapitalis, yang tak terelakkan
lagi menuju pada kehancurannya. Kedua, pada sosialisasi proses produksi secara
progresif yang menciptakan benih-benih tatanan sosial masa depan. Dan ketiga,
pada organisasi dan kesadaran kelas proletar yang meningkat, yang menimbulkan
faktor aktif dalam revolusi yang akan datang.
Bernstein meninggalkan poin pertama dari tiga
faktor pendukung fundamental sosialisme ilmiah. Dia mengatakan bahwa
perkembangan kapitalis tidak menuju pada sebuah keruntuhan ekonomi secara umum.
Bernstein bukan hanya menolak suatu bentuk
tertentu dari keruntuhan itu. Dia menolak kemungkinan hakiki dari keruntuhan
tersebut. Dalam tulisannya dia mengatakan: “Seseorang bisa saja mengklaim bahwa
keruntuhan masyarakat yang sekarang berarti sesuatu yang lain dari sekedar
krisis komersial umum, lebih buruk dari semua krisis lainnya, yakni keruntuhan
total sistem kapitalis yang terjadi sebagai akibat kontradiksi-kontradiksinya
sendiri.” Dan terhadap pernyataan ini, Bernstein menjawab: “Dengan semakin
berkembangnya masyarakat, sebuah keruntuhan total dan nyaris umum sistem produksi
yang kini ada menjadi makin dan makin mustahil, karena perkembangan kapitalis
meningkatkan, di satu sisi, kapasitas adaptasinya, dan -di sisi lain-
diferensiasi industri.” (Neue Zeit, 1897-1898, edisi 18, hal. 555).
Tetapi kemudian muncul pertanyaan: kalau
begitu, mengapa dan bagaimana kita bisa mencapai tujuan akhir kita? Menurut
sosialisme ilmiah, kebutuhan sejarah terutama termanifestasi dalam tumbuhnya
anarki kapitalisme yang menggerakkan sistem ini menuju sebuah jalan buntu.
Namun, apabila seseorang sepakat dengan Bernstein bahwa perkembangan kapitalis
tidak bergerak dalam arah yang menuju pada kehancurannya sendiri, maka
sosialisme pun secara obyektif tak lagi diperlukan. Disinilah tetap berlaku dua
arus utama lain dari penjelasan ilmiah tentang sosialisme, yang juga dikatakan
sebagai konsekuensi dari kapitalisme itu sendiri: sosialisasi proses produksi
dan bangkitnya kesadaran proletariat. Dua hal inilah yang ada di pikiran
Bernstein ketika ia mengatakan: “Peniadaan teori tentang keruntuhan sama sekali
tidak menghalangi doktrin sosialis tentang persuasi. Karena, jika diteliti
secara mendalam, apa faktor-faktor yang kita perhitungkan, yang menyebabkan
peniadaan atau modifikasi krisis-krisis terdahulu? Tak lain, pada kenyataannya,
adalah syarat-syarat -atau bahkan sebagian merupakan benih-benih dari-
sosialisasi produksi dan pertukaran.” (Ibid, hal. 554).
Sedikit sekali refleksi yang diperlukan untuk
memahami bahwa disinipun kita menghadapi sebuah kesimpulan yang keliru. Dimana
letak arti penting dari semua fenomena yang oleh Bernstein dikatakan sebagai
sarana adaptasi kapitalis - kartel, sistem kredit, perkembangan alat
komunikasi, perbaikan kondisi kelas pekerja, dan lain-lain? Jelas, pada asumsi
bahwa kartel, sistem kredit, dan lain-lain itu meniadakan atau setidaknya
mengurangi kontradiksi-kontradiksi dalam ekonomi kapitalis, dan menghentikan
perkembangan atau penajaman kontradiksi-kontradiksi itu. Dengan demikian,
peniadaan krisis hanya bisa berarti peniadaan pertentangan antara produksi dan pertukaran
pada basis kapitalis. Perbaikan kondisi kelas pekerja, atau penetrasi
fraksi-fraksi kelas tertentu ke dalam lapisan-lapisan menengah, hanya bisa
berarti pengurangan pertentangan antara modal dan kerja. Tetapi, bila
faktor-faktor yang disebutkan itu meniadakan kontradiksi-kontradiksi kapitalis,
sehingga menjaga sistem ini dari kehancuran; apabila faktor-faktor tersebut
memungkinkan kapitalisme untuk mempertahankan diri -dan itulah yang disebut
Bernstein sebagai “sarana adaptasi”- bagaimana mungkin kartel, sistem kredit,
serikat buruh, dan lain-lain itu sekaligus juga merupakan “syarat-syarat -dan
bahkan, sebagian merupakan benih-benih”- sosialisme? Jelaslah hanya dalam hal
bahwa faktor-faktor itu mengekspresikan secara paling jelas watak sosial dari produksi.
Akan tetapi, kalau disajikan dalam bentuk
kapitalisnya, maka faktor-faktor tadii menganggap sebagai sesuatu yang
berlebihan -dan berkebalikan dalam ukuran yang sama- transformasi dari produksi
yang telah tersosialisasikan ini menjadi produksi sosialis. Itulah sebabnya
mengapa faktor-faktor yang disebutkan Bernstein itu hanya bisa menjadi benih
atau syarat bagi suatu tatanan sosialis dalam makna teoritis, bukan dalam makna
historis. Faktor-faktor tersebut adalah fenomena yang -dari sudut pandang konsepsi
kita tentang sosialisme- kita pahami sebagai berkaitan dengan sosialisme, namun
pada kenyataannya bukan hanya tidak mengarah pada sebuah revolusi sosialis,
melainkan sebaliknya, menganggapnya berlebihan.
Tetap ada satu kekuatan yang memungkinkan realisasi
sosialisme, yakni kesadaran-kelas proletariat. Namun inipun, dalam hal
tertentu, bukanlah semata-mata refleksi intelektual tentang
kontradiksi-kontradiksi yang berkembang dalam kapitalisme serta keruntuhannya
yang mendekat. Kesadaran-kelas proletariat itu kini tak lebih sekedar sebuah
konsep ideal yang kekuatan persuasinya terletak hanya pada kesempurnaan yang
dianggap berasal darinya.
Dalam konsep Bernstein itu, kita
mendapati penjelasan singkat tentang program sosialis dengan cara “logika
murni”. Yakni, kita dipaksa menggunakan bahasa yang sederhana, sebuah
penjelasan idealis tentang sosialisme. Kebutuhan obyektif akan sosialisme,
penjelasan tentang sosialisme sebagai hasil dari perkembangan material
masyarakat, kemudian gugur ke tanah.
Dengan demikian, teori revisionis menempatkan
dirinya sendiri dalam sebuah dilema. Apakah transformasi sosialis merupakan
-sebagaimana yang diakui sampai sekarang- konsekuensi dari
kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme, yang pada suatu titik tertentu
tak terelakkan lagi akan mengakibatkan kehancurannya, (yang dengan begitu
berarti “sarana adaptasi” menjadi tidak efektif, dan teori keruntuhan itulah
yang benar); ataukah “sarana adaptasi” akan betul-betul menghentikan keruntuhan
sistem kapitalis, dan dengan demikian berarti memungkinkan kapitalisme untuk
mempertahankan diri dengan meniadakan kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Kalau
seperti itu halnya, maka sosialisme bukan lagi sebuah kebutuhan sejarah.
Sosialisme kemudian menjadi apapun yang ingin anda sebut sebagai sosialisme,
tetapi bukan lagi hasil dari perkembangan material masyarakat.
Dilema itu menyebabkan munculnya dilema lain.
Apakah revisionisme itu benar dalam posisinya mengenai kurun perkembangan
kapitalis, dan karenanya transformasi sosialis masyarakat hanyalah sebuah
utopia; ataukah sosialisme itu bukan sebuah utopia, dan teori tentang
"sarana adaptasi" itu keliru. Itu adalah persoalan dalam sebuah kulit
kacang.
0 comments:
Post a Comment