Membincarakan dasar teori ekonomi kapitalisme,
sosok Adam Smith dengan buku termasyhurnya, The Wealth of Nations, dapat
di sebut sebagai Bapak Kapitalisme. Dalam membahas teori dasar kapitalisme adalah dengan mengetahui ciri dasar
sistem tersebut, yaitu pemaksimalan keuntungan individu melalui
kegiatan-kegiatan ekonomi yang dimaksudkan membantu kepentingan publik.
Makna kapitalisme untuk
kepentingan publik tersebut, oleh Adam Smith diilustrasikan dengan sangat
jelas: “Apa yang kita harapkan untuk makan malam kita tidaklah datang dari
keajaiban dari si tukang daging, si pemasak bir atau si tukang roti, melainkan
dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai kepentingan pribadi. Malah
seseorang umumnya tidak berkeinginan untuk
memajukan kepentingan publik dan ia juga tidak tahu sejauh mana ia
memiliki andil untuk memajukannya. Yang ia hormati dan ia kejar adalah keuntungan
bagi dirinya sendiri. Di sini ia dituntun oleh tangan-tangan yang tak terlihat
(the invisible hands) untuk mengejar yang bukan bagian dari kehendak
sendiri. Bahwa itu juga bukan merupakan bagian dari masyarakat, itu tidak
lantas berarti suatu yang lebih buruk dari masyarakat. Dengan mengejar kepentingan
sendiri, ia kerap kali memajukan kepentingan masyarakat lebih efektif
dibandingkan dengan jika ia sungguh-sungguh bermaksud memajukannya. Saya tidak
pernah menemukan kebaikan yang dilakukan mereka yang sok berdagang demi
kepentingan publik”.[1]
Penjelasan ilustratif
tersebut sebenarnya tidak bermaksud lain kecuali kehendak untuk memaknai
kapitalisme dengan memadukan kepentingan individu di satu pihak dan kepentingan
publik di pihak yang lain. Dari premis itu ialah bahwa kapitalisme merupakan
sebuah sistem ekonomi yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi
secara individu. Meskipun demikian, orientasi individu tetap merupakan tahapan
awal bagi kepentingan publik atau sosial. Motif sosial yang tersembunyi (hidden social motive) yang
disebut Smith sebagai the invisible hands.
Kehendak untuk memadukan
kepentingan privat dan publik ini selanjutnya dijelaskan bahwa setiap manusia,
dengan demikian, dipimpin langsung oleh kepentingan dan tindak tanduk
ekonominya. Manusia yang bersangkutanlah yang mengetahui apa kepentingan mereka
sesungguhnya. Oleh sebab itu, dialah yang dapat memenuhi kepentingan dengan
sebaik-baiknya. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mengesampingkan kepentingan
bersama, tetapi mereka berfikir bahwa kepentingan bersama ini akan dapat
diperhatikan dengan sebaik-baiknya pula apabila setiap individu mendapat
kesempatan untuk memenuhi, memuaskan, dan mengekspresikan kepentingannya
masing-masing tanpa restriksi.
Setelah ia menulis The Wealth of Nations, Smith
sudah mengemukakan dalam Theory of Moral Sentiments sebagai dasar
filsafat teori ekonominya. Ia menentang dengan tegas pendapat de Mandeville bahwa privet vice makes
public benevit. De Mandeville memandang bahwa kemewahan atau
pengejaran keuntungan ekonomi itu dosa, meski dosa itu sendiri diperlukan untuk
kesejahteraan masyarakat. Smith justru melihat sebaliknya, dengan meniru
gurunya Francis Hutcheson, ia mengatakan bahwa kebajikan adalah pengendali
nafsu dan bukan sebuah antipati yang mutlak. Dalam The Wealth of Nations sendiri, Smith pernah mengatakan
bahwa: “The nature and causes of the wealth of nations is what is properly
called political economy”. Ini menunjukkan bahwa nama bukunya saja sudah
cukup untuk menjelaskan apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dari aktifitas
ekonomi.[2]
Mempelajari paradigma dan
ide dasar kapitalisme juga bisa dilakukan dengan membuat
interpretasi-interpretasi karya Smith seperti yang banyak dilakukan. Kita
memahami bahwa masterpiece Smith tersebut sesungguhnya hanya meletakkan
gagasan-gagasan cemerlangnya secara umum saja. Sjahrir (1995) menerjemahkan The
Wealth of Nations yang membidani lahirnya teori kapitalisme itu dengan
membuat rincian sederhana seperti, apa yang harus diproduksi dan dialokasikan,
bagaimana cara memproduksi dan mengalokasikan sumber daya, serta bagaimana cara
mendistribusikan sumber daya dan hasil produksi.[3]
Pemahaman lain tentang ide
dasar kapitalisme juga diberikan oleh Max Weber[4].
Ia mendefinisikan kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi berdasarkan
kerja berupah untuk dijual dan diperdagangkan guna mencari keuntungan. Ciri produksi
berdasarkan upah buruh itu merupakan karakter mendasar bagi kapitalisme. Bagi
Weber, ciri kapitalisme yang lebih mendasar lagi adalah pada sistem pertukaran
di pasar. Sistem di pasar ini menimbulkan konsekuensi logis berupa
rasionalisasi yang mengacu pada bagaimana cara meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya. Dengan kata lain, bagaimana melakukan akumulasi kapital
secara terus menerus. Akumulasi kapital itu dimaksudkan untuk melakukan
produksi barang atau jasa yang lebih menguntungkan (more profitable). Keuntungan
inilah yang secara dominan bagi rasionalitas tekhnologi.
Sedangkan bagi Marx,
kapitalisme tidak didefinisikan oleh motif atau orientasi kaum kapitalis.
Apapun motif yang mereka sadari, mereka sebenarnya didorong oleh logika sistem
ekonomi untuk memupuk modal. Kapitalisme bagi Marx suatu bentuk masyarakat
kelas yang distrukturasikan dengan cara khusus di mana manusia diorganisasikan
untuk produksi kebutuhan hidup.[5]
Sejalan dengan zaman,
kapitalisme terus berkembang, bergerak dan beradaptasi dengan sejarah. Jorge
Larrain mengemukakan, “Kapitalisme dicirikan oleh dominasi obyek atas subyek,
modal atas pekerja, kondisi produksi atas produsen, buruh mati atas buruh
hidup. Bahkan menurut Marx, kapitalisme adalah hasil dari praktek reproduksi
manusia. Marx menganalisa hal tersebut tidak hanya untuk mengetahui bagaimana
sistem itu bekerja dan memproduksi diri sendiri, tetapi juga untuk menunjukkan
kondisi yang mampu menggantikannya”.[6]
Kapitalisme yang dibuat
oleh Lorens Bagus, berasal dari bahasa Inggris, capitalism atau kata
latin, caput yang berarti kepala. Kapitalisme itu sendiri adalah sistem
perekonomian yang menekankan peranan kapital atau modal.[7] Poin-poin penting yang bisa dilihat dan biasa
digunakan untuk mengartikan kapitalisme adalah: Pertama, kapitalisme
adalah ungkapan kapitalisme klasik yang dikaitkan dengan apa yang dimaksud oleh
Adam Smith sebagai permainan pasar yang memiliki aturan sendiri. Ia yakin bahwa
dengan kompetisi, pekerjaan dari tangan yang tidak kelihatan akan menaikkan
harga pada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja atau modal mengalami
pergeseran dari perusahaan yang kurang menguntungkan. Ini berarti kapitalisme
merupakan usaha-usaha kompetitif manusia yang akan dengan sendirinya berubah
menjadi kepentingan bersama atau kesejahteraan sosial (social welfare).
Kedua, kapitalisme merupakan ungkapan Prancis laissez-faire,
laissez-passer, yang berarti ‘semaunya’, yang dilekatkan sebagai ungkapan
penyifat. Ungkapan laissez-faire menekankan sebuah pandangan bahwa dalam
sistem ini, kepentingan ekonomi dibiarkan berjalan sendiri agar perkembangan
berlangsung tanpa pengendalian Negara dan dengan regulasi seminimal mungkin. Ketiga,
kapitalisme adalah ungkapan Max Weber bahwa ada keterkaitan antara
bangkitnya kapitalisme dengan protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk
sekuler dari penekanan protestanisme pada Individualisme dan keharusan
mengusahakan keselamatan sendiri.
[1] Premis ini di kemukakan Adam Smith dalam The Wealth of Nations
pendahuluan dan catatan pinggir oleh Edwin Cannan, New York: The Modern
Library, 1973, hlm. 14, 423.
[2] L. J. Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat
tentang Ekonomi, Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage,
1995, hlm. 42-43. Edisi Indonesia dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku
aslinya yang berjudul Geschiedenis Van Het Economisch Denken.
[3] Sjahrir, Formasi Mikro-Makro ekonomi Indonesia,
Jakarta, UI Press, 1995, hlm. 113-114.
[4] Max Weber, The Protestant ethic of Spirit Capitalism, New York,
Scribner, 1958, Edisi Inggrisnya dikerjakan oleh Talcot Parson dengan Pengantar
RH Tawney.
[5] Pada tahun 1887, muncullah Das Capital-nya
Marx yang amat termashur itu. Marx mengatakan bahwa kapitalisme itu mempunyai
ciri mutlak, yakni borjuis dan eksploitasi. Oleh karenanya, begitu Marx, dengan
revolusi kekerasanlah pemerintah sosialis harus didirikan. Demi terjaminnya
stabilitas sistem ini, maka ia harus dijaga oleh sistem kepemimpinan yang
diktator proletariat.
[6] Lihat Jorge Larrain, The Concept of Ideology, Forteword by Tom
Bottomore, First Published, Australia: Hotchinson Publishing Group, 1979, versi
Indonesia oleh Ngatawi al Zastrouw (editor) dan Ryadi Gunawan (penerjemah),
Yogyakarta: LKPSM, 1997, hlm. 55.
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta,
Gramedia, 1996, hlm.391.